Kamis, 18 Maret 2010

BANK TERNAK sebagai Wadah Kemitraan Agrobisnis Peternakan Kambing PE

Sejak dahulu usaha ternak hewan ruminansia kecil khususnya kambing telah menjadi bagian dari budaya masyarakat Indonesia khususnya di Pulau Jawa. Umumnya usaha dikelola secara tradisional dengan skala kecil yang menjadi usaha sampingan petani di pedesaan. Skala usaha yang terbatas menyebabkan sering terjadi perkawinan sedarah (inbreeding) sehingga anak keturunan kambing yang dipelihara menurun kualitasnya. Jenis kambing yang dipelihara umumnya juga bukan kambing unggul sehingga kurang/tidak memiliki nilai ekonomis yang tinggi.
Para peternak kecil kadangkala juga menjalin kerjasama/kemitraan dengan sistem gaduhan dengan bagi hasil 50-50 masing-masing untuk peternak dan investor. Dalam sistem tersebut investor hanya menyediakan kambing untuk dipelihara tanpa memberi dukungan pembinaan yang memadai sedangkan kandang dan pakan disediakan oleh peternak sendiri. Pola semacam ini mungkin menguntungkan bagi pemilik modal namun tidak bagi peternak karena praktis hanya memperoleh pendapatan/upah memberi makan kambing TANPA mendapat keuntungan/laba dari usaha ternaknya tersebut.

Dewasa ini berkembang usaha peternakan kambing skala cukup besar dibeberapa wilayah seperti Yogyakarta, Malang, dan Bandung. Usaha peternakan tersebut sebagian besar telah menggunakan kambing unggul termasuk diantaranya kambing Peranakan Etawa(PE). Kambing PE dipilih karena karena selain merupakan penghasil daging yang baik juga dapat diperah untuk menghasilkan susu. Kandungan susu kambing menurut penelitian lebih mendekati ASI daripada susu sapi sehingga potensial menggantikan susu sapi (yang notabene masih impor). Selain berorientasi profit sebagaimana layaknya bisnis, para peternak besar umumnya memiliki komitmen kuat untuk memajukan peternakan demi menyejahterakan masyarakat umum.
Di sisi lain banyak juga peternak pemula yang sedang merintis usaha peternakan serupa di wilayah lain yang memiliki SDA potensial (terkait dengan ketersediaan lahan untuk pakan) sebagai lokasi peternakan. Sama halnya dengan kondisi petani penggaduh, para peternak pemula tersebut umumnya memiliki permasalahan keterbatasan modal sehingga kapasitas usahanya belum optimal dibandingkan dengan potensi SDA yang dimilikinya. Salah satunya disebabkan harga bibit/bakalan kambing jenis PE yang mahal (jauh lebih mahal dari kambing kacang atau jawa randu) sehingga di butuhkan biaya investasi yang besar. Akses permodalan melalui lembaga keuangan (Bank atau BPR) selain kurang "ramah" dengan usaha ternak (khususnya kambing) juga menuntut bagi hasil yang terlalu tinggi (termasuk biaya administrasi, provisi, dan biaya-biaya lainnya) sehingga tidak menarik bagi peternak pemula.

Untuk itu diusulkan mendirikan semacam "BANK TERNAK" yang melakukan fungsi mediasi usaha peternakan (dalam hal ini Kambing PE). Bank didirikan oleh para pemilik usaha peternakan yang sudah senior (memiliki ternak banyak) dan/atau investor umum lainnya. Sebagai nasabahnya selaku debitor adalah para peternak yang masih kecil yang belum optimal karena kepemilikan ternak terbatas. Bank beroperasi dengan sistem bagi hasil (seperti pola syariah pada bank)yang menyediakan kambing dan bimbingan teknis peternakan (konsultan) dan pemasaran produksi. Hasil usaha ternak utama yaitu anakan dan/atau susu kambing merupakan objek yang diperhitungkan sebagai hasil usaha. Pendapatan lain (selain anakan dan/atau susu) menjadi hak peternak.
Perlu ditekankan juga bahwa komoditas BANK TERNAK tersebut adalah hewan ternak bukan uang seperti bank pada umumnya.

Contoh pola bagi hasil :
Jika kandang disediakan oleh Bank Ternak maka bagi hasil adalah 50-50 namun jika disediakan peternak secara mandiri/swadaya maka bagi hasil adalah 2/3 peternak dan 1/3 bank.

Mungkinkah???

1 komentar:

miqdardede mengatakan...

ide/pemikiran yg bagus gan, perlu dikaji lebih lanjut gan.