Selasa, 09 Maret 2010

Ternak Kambing Perah di Pedesaan

Setelah cukup lama belajar di "sekolah ternak" tiba saatnya mengeksekusi penyaluran hasrat untuk beternak kambing. Seperti disampaikan pada posting sebelumnya bahwa usaha ternak kambing didorong oleh kenyataan bahwa masyarakat di desa saya memerlukan tambahan penghasilan untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Masyarakat petani selalu dihadapkan dengan kondisi yang tidak menguntungkan yaitu naiknya harga pupuk kimia tidak diikuti dengan harga jual produksi pertanian. Potret klasik tersebut sudah menjadi pemandangan umum kehidupan petani di pedesaan sehingga tidak heran jika kehidupan petani di Indonesia khususnya di Pulau Jawa serba pas-pasan.

Usaha peternakan khususnya kambing perah memiliki banyak manfaat bagi masyarakat petani pedesaan, antara lain :
1. Meningkatkan penghasilan masyarakat dari penjualan produk usaha ternak (cempe),
2. Mengurangi biaya produksi pertanian melalui pemanfaatan kotoran ternak sebagai pupuk (selain lebih murah juga ramah lingkungan),
3. Meningkatkan gizi dengan konsumsi susu yang diperoleh dari hewan ternaknya.

Sumber daya alam di pedesaan sangat mendukung budidaya ternak terkait dengan ketersedian hijauan makanan ternak yang hampir tersedia sepanjang tahun. Sumber daya petani melalui bimbingan dan pelatihan secara kontinyu akan mampu menguasai teknik beternak yang baik.

Kelemahan utama yang ada adalah keterbatasan modal sehingga usaha peternakan khususnya kambing perah belum menjadi pilihan. Disamping itu jiwa kewirausahaan belum menjadi budaya masyarakat sehingga inovasi dan kreatifitas tidak berkembang meskipun tingkat pendidikan formal cukup memadai. Masyarakat pedesaan umumnya lebih suka menduplikasi atau meniru usaha yang telah berjalan daripada memulai percobaan usaha sendiri.

Untuk itulah saya melakukan inisiasi peternakan kambing perah di desa tempatku lahir dan dibesarkan. Pengalaman beternak kambing biasa (jawa randu) selama 2 tahun menunjukkan secara bisnis cukup menguntungkan (dari 1 ekor menjadi 4 ekor). Kendala utama yang dihadapi adalah keterbatasan pejantan sehingga perkawinan kambing tidak optimal, sebagai akibatnya calving period terlalu panjang. Disisi lain jika memelihara pejantan tanpa dibarengi jumlah betina yang memadai akan memboroskan biaya. Menurut perhitungan setidaknya 10 ekor betina harus dipelihara jika memelihara 1 ekor pejantan.

Peternakan yang diusahakan adalah ternak kambing perah jenis peranakan etawa. Untuk mencapai hasil optimal maka usaha dimulai dengan memelihara 8 ekor induk betina dan 1 ekor pejantan. Target jumlah tersebut ditargetkan dapat direalisasikan dalam tahun ini. Induk betina yang dibeli dalam kondisi hamil sehingga mempercepat proses produksi, sedangkan pejantan dipersiapkan untuk menjadi pemacek pada siklus perkawinan berikutnya sehingga dibeli masih kondisi cempe (umur 6 bulanan). Pada tahap awal usaha diproyeksikan untuk meningkatkan kuantitas ternak sehingga hasil produksi berupa cempe betina tidak dijual. Hanya cempe jantan yang dijual untuk menutup biaya produksi. Induk betina, cempe betina dari induk betina, dan pejantan yang akan seterusnya dipelihara sebagai bibit peternakan pada siklus produksi tahun berikutnya.

Sementara ini dulu, posting berikutnya akan menjelaskan lebih lanjut. saran dan kritik dari para peternak dan pemerhati untuk memperbaiki usaha ini sangat saya harapkan.

Tidak ada komentar: