Senin, 07 Juni 2010

Peternak Pemula dan Masalahnya

Sebagai peternak pemula kendala seputar usaha peternakan silih berganti muncul dan membutuhkan penyelesaian segera. Masalah klise yang pertama muncul adalah masalah modal yang kemudian diatasi dengan melakukan kerjasama dengan investor. Penggunaan dana pinjaman bank sedapat mungkin dihindari terkait dengan keharaman bunga bank. Meskipun sulit namun kehati-hatian menjadi hal penting yang harus diperhatikan untuk menjamin keberkahan usaha. Salah satu peluang modal yang sedang dikaji sebagai alternatif pembiayaan adalah dengan menjadi anggota koperasi. Koperasi merupakan wadah usaha yang mempertemukan investor dan pelaku usaha riil dalam posisi setara. Koperasi menjadi menarik karena adanya pola kebersamaan dan gotong royong sesama anggota. Jika memenuhi kriteria tidak melanggar ketentuan agama, pendanaan melalui koperasi akan direalisasikan tahun depan jika pola investasi langsung dari investor telah maksimal.
Masalah kedua yang muncul adalah tidak tersedianya kambing pejantan yang bagus disekitar peternakan. Kondisi ini memaksa kami harus mengawinkannya di daerah asal kambing tersebut di Kaligesing. Selain itu rencana up grading kambing lokal (jenis jawa randu) menjadi tertunda. Pemeliharaan pejantan sendiri dirasa belum optimal jika hanya memiliki kambing betina kurang dari 8 ekor. Untuk mengatasinya maka direncanakan untuk menjual anakan yang dihasilkan dan membeli betina siap kawin dengan dana yang diperoleh. Penjualan anakan akan dilakukan di Kaligesing sekalian mengawinkan kembali indukannya dengan pejantan berkualitas yang ada. Jika sekarang peternakan baru memiliki 3 ekor betina PE maka di proyeksi akhir tahun telah bertambah menjadi 6 ekor betina. Jumlah tersebut masih kurang 2 ekor untuk mencapai 8 ekor sesuai kondisi ideal yang direncanakan. Kekurangan tersebut akan dipenuhi dengan mencari investor baru dalam enam bulan kedepan. Kebutuhan pejantan tahun depan dipertimbangkan untuk dipenuhi dengan membeli pejantan berkualitas tapi tua sehingga diharapkan harganya tidak terlalu mahal (seharga kambing pedaging). Kambing pejantan tersebut dimanfaatkan sampai Hari Raya Qurban untuk dikorbankan. Alternatif lain adalah dengan membeli pejantan PE kualitas Qurban umur 1,5 tahun dan kemudian dikorbankan saat umur lebih dari 2 tahun. Hal ini untuk mengakomodasi pendapat yang menyatakan bahwa umur kambing korban minimal 2 tahun sedangkan domba 1 tahun.
Masalah ketiga yang muncul adalah pola ransum pakan yang harus disesuaikan dengan ketersediaan pakan di lokasi peternakan. Hal ini terkait dengan adaptasi yang harus dilakukan kambing di tempat barunya yang berbeda dengan daerah asalnya. Selain masalah iklim, pakan yang berbeda mengharuskan penataan ransum yang sesuai (berbahan pakan lokal) agar kebutuha nutrisi kambing tetap terpenuhi dengan baik. Idealnya pengaturan ransum memerlukan analisis proksimat pakan namun hal ini terlalu rumit bagi peternak yang rata-rata tidak berlatar belakang ilmu peternakan. Cara sederhana yang dapat dilakukan adalah dengan coba-coba sambil terus mengembangkan budidaya tanaman yang telah terbukti cocok untuk pakan dan dapat tumbuh dengan baik disekitar lokasi peternakan.
Demikian sharing ini, semoga bermanfaat.

Selasa, 27 April 2010

KONTES KAMBING PE NASIONAL 2010

Kabar gembira terutama bagi para peternak dan penghobi Kambing Peranakan Etawa karena menurut rencana tanggal 18 Juli 2010 akan diadakan Kontes Etawa Nasional di Pasar Ambarketawang, Gamping, Sleman, Yogyakarta (baca : http://www.facebook.com/profile.php?id=100000828563045#!/profile.php?id=1799239812&v=wall&story_fbid=112208605465213).
Kontes diselenggarakan untuk 4 kelas, yaitu;
- Kelas Calon A (jantan & betina belum poel tinggi maksimal 60cm),
- Kelas Calon B (jantan & betina belum poel tinggi minimal 60 cm ke atas),
- Kelas B (jantan & betina gigi poel 1 pasang hingga 2 pasang),
- Kelas A (jantan & betina gigi poel 3 ke atas).

Kelas kontes yang akan diselenggarakan sudah mengakomodasi seluruh umur dan kelamin kambing PE. Kontes yang diadakan tidak semata-mata memperebutkan juara, namun merupakan forum silaturahmi peternak, penghobi, dan pemerhati ternak kambing PE dalam memajukan peternakan di Indonesia.

Kambing yang diikutsertakan para peserta umumnya merupakan ternak terbaik yang menjadi andalan peternakannya. Ternak yang terpilih dewan juri sebagai juara (sesuai kriteria yang ditentukan) selain memperoleh penghargaan dari panitia juga akan meningkatkan citra (prestise) bagi peternakan.

Minggu, 21 Maret 2010

HFX.A-01


HFX.A-01
Calon Pejantan
Umur 6 bulan
Badan : Panjang 90 cm, Tinggi 75 cm
Telinga : Panjang 28 cm

HFX.M-01


HFX.M-01
Induk Betina (beranak satu kali.)
Dikawinkan dengan Pejantan milik Pak Sumar Kaligesing sekitar 2 minggu yang lalu.

BURSA KAMBING PERANAKAN ETAWA (PE) KUALITAS KONTES

Selain sebagai kambing perah, Kambing PE dipakai penghobi ternak sebagai kambing kontes karena performa khas dan eksotik yang dimilikinya. Eksotisme Kambing PE sangat tergantung dengan selera peternak atau para penghobi dalam memandang nilai estetika performa kambing. Kualitas seni Kambing PE umumnya ditentukan dengan seberapa mirip tampilan kambing PE tersebut dengan leluhurnya yaitu Kambing Jamnapari (Ettawa) dari India. Standar penilaian yang dipakai dalam perlombaan atau kontes Kambing PE biasanya juga mengikuti kaidah tersebut. Menurut Haji Bondan, penilaian pada kontes 100% terkait dengan sosok atau postur tubuh kambing meliputi bentuk kepala, telinga, tinggi badan, berat badan, keserasian corak warna bulu, tanduk, ekor, dan ciri khas Kambing PE lainnya.
Citarasa seni seseorang sebenarnya tidak dapat diukur karena sangat subjektif dalam mengapresiasi suatu objek seni. Penggunaan standar tertentu dalam penjurian kontes Kambing PE dilakukan semata-mata untuk menentukan “juara” dalam perhelatan yang diselenggarakan.
Kaligesing-Purworejo diakui atau tidak sampai saat ini merupakan sentral Kambing PE di Indonesia. Mayoritas penduduk daerah tersebut memiliki Kambing PE sebagai ternak peliharaan dengan berbagai skala kepemilikan mulai 1-2 ekor sampai puluhan ekor. Sangat wajar apabila Kambing PE yang menjuarai berbagai kontes masih didominasi kambing yang berasal dari wilayah tersebut (meskipun kadang-kadang telah berpindah tangan menjadi koleksi penghobi maupun peternak di luar Kaligesing).
Setiap hari Sabtu, ratusan Kambing hasil produksi para peternak diperjualbelikan di Pasar Pendem yang berada di Desa Pandanrejo, Kec. Kaligesing, Kab. Purworejo. Pedagang yang datang tidak hanya dari masyarakat sekitar Kaligesing namun dari seluruh wilayah Pulau Jawa seperti Pati (Jawa Tengah), Malang (Jawa Timur), dan Ciamis/Banjar (Jawa Barat). Sehingga tidak heran jika banyak orang menyebut Pasar Pendem merupakan pasar terbesar Kambing PE di Indonesia bahkan di dunia.

Suasana Pasar Pendem Kaligesing

Dalam rangka ikut memasyaratkan peternakan khususnya Kambing PE di Indonesia, melalui blog Hana Farm berusaha melakukan promosi Kambing PE khususnya ras Kaligesing. Pemanfaatan teknologi internet ini diharapkan mampu menjembatani dan mempertemukan para peternak dengan calon peternak atau penghobi Kambing PE baik secara online maupun langsung.
Kambing PE yang ditampilkan merupakan Kambing PE yang dipilih Hana Farm dari Pasar Pendem maupun langsung dari peternak Kambing PE di Kaligesing dan sekitarnya. Pelaksanaan bursa kambing online yang difasilitasi akan disesuaikan dengan rutinitas Pasar Pendem serta ketersediaan kambing yang layak tampil. Agar lebih atraktif dan menarik maka yang ditampilkan adalah foto dan informasi kambing yang menurut Hana Farm merupakan Kambing PE berkualitas kontes. Pemerhati, peternak, maupun peminat Kambing PE lainnya dapat memberikan ulasan/komentar, kritik, saran, dan pertanyaan tentang kambing yang ditampilkan.
Meskipun hanya menampilkan Kambing PE berkualitas kontes, Hana Farm siap membantu pengadaan Kambing PE standar (biasa) jenis indukan maupun bakalan untuk diternakkan sesuai fungsi utamanya sebagai kambing perah dan pedaging.

Kamis, 18 Maret 2010

BANK TERNAK sebagai Wadah Kemitraan Agrobisnis Peternakan Kambing PE

Sejak dahulu usaha ternak hewan ruminansia kecil khususnya kambing telah menjadi bagian dari budaya masyarakat Indonesia khususnya di Pulau Jawa. Umumnya usaha dikelola secara tradisional dengan skala kecil yang menjadi usaha sampingan petani di pedesaan. Skala usaha yang terbatas menyebabkan sering terjadi perkawinan sedarah (inbreeding) sehingga anak keturunan kambing yang dipelihara menurun kualitasnya. Jenis kambing yang dipelihara umumnya juga bukan kambing unggul sehingga kurang/tidak memiliki nilai ekonomis yang tinggi.
Para peternak kecil kadangkala juga menjalin kerjasama/kemitraan dengan sistem gaduhan dengan bagi hasil 50-50 masing-masing untuk peternak dan investor. Dalam sistem tersebut investor hanya menyediakan kambing untuk dipelihara tanpa memberi dukungan pembinaan yang memadai sedangkan kandang dan pakan disediakan oleh peternak sendiri. Pola semacam ini mungkin menguntungkan bagi pemilik modal namun tidak bagi peternak karena praktis hanya memperoleh pendapatan/upah memberi makan kambing TANPA mendapat keuntungan/laba dari usaha ternaknya tersebut.

Dewasa ini berkembang usaha peternakan kambing skala cukup besar dibeberapa wilayah seperti Yogyakarta, Malang, dan Bandung. Usaha peternakan tersebut sebagian besar telah menggunakan kambing unggul termasuk diantaranya kambing Peranakan Etawa(PE). Kambing PE dipilih karena karena selain merupakan penghasil daging yang baik juga dapat diperah untuk menghasilkan susu. Kandungan susu kambing menurut penelitian lebih mendekati ASI daripada susu sapi sehingga potensial menggantikan susu sapi (yang notabene masih impor). Selain berorientasi profit sebagaimana layaknya bisnis, para peternak besar umumnya memiliki komitmen kuat untuk memajukan peternakan demi menyejahterakan masyarakat umum.
Di sisi lain banyak juga peternak pemula yang sedang merintis usaha peternakan serupa di wilayah lain yang memiliki SDA potensial (terkait dengan ketersediaan lahan untuk pakan) sebagai lokasi peternakan. Sama halnya dengan kondisi petani penggaduh, para peternak pemula tersebut umumnya memiliki permasalahan keterbatasan modal sehingga kapasitas usahanya belum optimal dibandingkan dengan potensi SDA yang dimilikinya. Salah satunya disebabkan harga bibit/bakalan kambing jenis PE yang mahal (jauh lebih mahal dari kambing kacang atau jawa randu) sehingga di butuhkan biaya investasi yang besar. Akses permodalan melalui lembaga keuangan (Bank atau BPR) selain kurang "ramah" dengan usaha ternak (khususnya kambing) juga menuntut bagi hasil yang terlalu tinggi (termasuk biaya administrasi, provisi, dan biaya-biaya lainnya) sehingga tidak menarik bagi peternak pemula.

Untuk itu diusulkan mendirikan semacam "BANK TERNAK" yang melakukan fungsi mediasi usaha peternakan (dalam hal ini Kambing PE). Bank didirikan oleh para pemilik usaha peternakan yang sudah senior (memiliki ternak banyak) dan/atau investor umum lainnya. Sebagai nasabahnya selaku debitor adalah para peternak yang masih kecil yang belum optimal karena kepemilikan ternak terbatas. Bank beroperasi dengan sistem bagi hasil (seperti pola syariah pada bank)yang menyediakan kambing dan bimbingan teknis peternakan (konsultan) dan pemasaran produksi. Hasil usaha ternak utama yaitu anakan dan/atau susu kambing merupakan objek yang diperhitungkan sebagai hasil usaha. Pendapatan lain (selain anakan dan/atau susu) menjadi hak peternak.
Perlu ditekankan juga bahwa komoditas BANK TERNAK tersebut adalah hewan ternak bukan uang seperti bank pada umumnya.

Contoh pola bagi hasil :
Jika kandang disediakan oleh Bank Ternak maka bagi hasil adalah 50-50 namun jika disediakan peternak secara mandiri/swadaya maka bagi hasil adalah 2/3 peternak dan 1/3 bank.

Mungkinkah???

Kamis, 11 Maret 2010

Kambing Peranakan Etawa

Kambing Peranakan Etawa (PE) merupakan kambing keturunan Etawa dari negara India yang dibawa penjajah Belanda yang kemudian dikawinsilangkan dengan kambing lokal Indonesia. Kambing persilangan tersebut berkembang di pegunungan Menoreh (sekitar 40 Km sebelah barat Yogyakarta) terutama daerah Kaligesing-Purworejo sehingga saat ini terkenal sebagai kambing Peranakan Etawa ras Kaligesing.
Di negara asalnya Kambing Etawa merupakan kambing dwiguna yaitu penghasil daging dan susu. Namun di wilayah Kaligesing, kambing hasil persilangannya berkembang sebagai hewan "klangenan" karena bentuknya yang eksotis. Potensi sebagai ternak perah belum berkembang secara maksimal padahal Kambing PE mungkin merupakan satu-satunya plasma nutfah kambing perah "asli" Indonesia yang ada.
Kambing Peranakan Etawa diminati oleh banyak orang terutama di sekitar Jawa Tengah sehingga kambing ini menyebar pesat ke berbagai wilayah di propinsi tersebut seperti Pati, Kendal, Rembang, dan Banyumas. Namun seperti di daerah asalnya Kambing PE tersebut masih dikembangkan sebagai ternak klangenan sebagai hobi. Kambing Peranakan Etawa dikembangbiakkan sebagai kambing perah pada dasawarsa terakhir oleh para peternak di luar Jawa Tengah seperti di DI Yogyakarta, Jawa Barat dan Lampung. Tren Kambing PE juga merambah sampai ke negeri jiran Malaysia.
Semakin mendekati ciri moyangnya yaitu Kambing Etawa semakin bagus performa Kambing PE. Kambing Peranakan Etawa memiliki ciri khas pada bentuk mukanya yang cembung, bertelinga panjang-mengglambir, postur tubuh tinggi (gumba) 90-110cm, bertanduk pendek dan ramping.
Kambing PE dicirikan dengan badan yang besar dengan warna bulu beragam, belang putih, merah coklat, putih bercak hitam (belang) atau kombinasi ketiganya dan pada bagian belakang terdapat bulu yang lebat dan panjang.
Sebagaimana umumnya ruminansia jenis kambing yang berkembang dengan baik di daerah pegunungan atau dataran tinggi, Kambing PE juga ideal pada kondisi topografi tersebut.
Panggemar kambing Peranakan Etawa umumnya sangat menyukai keindahan bulu dan bentuk mukanya. Karena itu sangat jarang jenis kambing ini dijadikan kambing sembelihan (potong) untuk dimakan, mereka lebih memfungsikannya sebagai "klangenan" untuk koleksi yang memiliki prestige tersendiri. Bahkan konon pada jaman dulu, status seseorang terlihat dari selera dan kepemilikannya pada Kambing PE. Saat ini persepsi seperti itu terlihat jelas dengan "persaingan" antara para penghobi Kambing PE di arena kontes.

TIPS MEMBELI KAMBING PERANAKAN ETAWA
Sebagai peternak tentu akan menyiapkan calon indukan yang bagus dan berkualitas untuk dipelihara dengan harapan agar anak kambing yang dihasilkan nantinya akan sesuai dengan keinginan kita. Walaupun nantinya terpaksa tidak sesuai, mungkin hanya sekedar pola warna kambingnya saja. Beberapa faktor perlu dipertimbangkan sebagai pedoman agar kambing yang akan dibeli dapat menjadi indukan yang bagus.
Faktor kambing pejantan memiliki peranan dominan di dalam usaha pengembangbiakan kambing etawa. Meskipun menurut ilmu biologi secara genetika anakan ditentukan oleh 50% gen induk betina dan 50% pejantan, namun sebagian peternak yakin bahwa gen pejantan Kambing Etawa sangat dominan pada anak turunnya (60-70%).
Hal-hal dasar yang perlu kita cermati antara lain;
1.Pola Warna Kambing PE
Kambing PE biasanya memiliki pola warna yang bermacam macam seperti putih, hitam, dan coklat. Namun kebanyakannya memiliki warna paduan antara putih-hitam atau coklat-putih. Trend pola warna paling banyak digemari saat ini adalah pola badan putih dengan warna kepala hitam legam
2.Pola telinga dan kepala yang bagus
Pola telinga yang bagus adalah telinga yang menjuntai ke bawah, lemas, dan panjang. Semakin panjang telinga kambing semakin bagus. Jenis telinga yang bagus biasanya tidak memiliki pangkal telinga yang menonjol ke luar, jadi dari samping kepala kambing langsung ke bawah dengan panjang minimal 30 cm.
Kriteria pola kepala yang bagus adalah dari samping tampak jenong mendekati bentuk lingkaran serta memiliki rahang mulut yang kuat .
3.Pola Tubuh
Kambing harusnya memiliki tulang-tulang yang kokoh dan besar. Semakin besar tulang berarti semakin besar kemungkinan tumbuh menjadi kambing yang besar.
Beberapa cara tersebut hanyalah merupakan cara yang mudah untuk memperkecil resiko jika kita membeli kambing di pasar kambing etawa,
Membeli kambing di pasar juga memiliki banyak kelebihannya, selain banyak kambing sebagai pembanding, harga yang berlaku di pasar biasanya tidak setinggi harga kambing yang masih berada di kandang peternak. Namun kambing etawa yang di pasar biasanya tidak dapat dipertanggungjawabkan silsilah serta mutunya karena jarang ada peternak membawa kambing PE berkelas ke pasar kambing.
Untuk lebih amannya, disarankan apabila calon peternak ingin membeli kambing untuk diternakan, sebaiknya datang ke peternaknya langsung. Hal ini akan membuat kita lebih jelas untuk mengamati dan bertanya lebih detail tentang metode perawatan serta kebiasaan perawatan ternak.
Untuk peternak yang berorientasi pada susu maka faktor produktifitas susu yang dihasilkan menjadi faktor utama. Namun karena masih jarang peternak yang berorientasi pada produksi susu maka pencatatan (recording) produktifitas susu masih jarang ditemui di wilayah asalnya Kaligesing. Untuk itu peternak harus lebih jeli dan fokus dengan arah pengembangan usaha peternakannya. Peternak harus menciptakan/mengembangkan generasi ternak yang sesuai dengan tujuan bisnisnya diantaranya melalui program seleksi ternak.
Hal terpenting yang harus diperhatikan adalah tujuan usaha peternakan yang akan dijalankan, apakah untuk sekedar hobi semata, pembibitan atau untuk tujuan produksi susu. Dengan tujuan yang jelas maka kriteria pemilihan bibit akan mengikuti orientasi usaha peternakan. Hal tersebut erat kaitannya dengan biaya investasi yang diperlukan, karena untuk membeli Kambing PE ideal diperlukan biaya yang cukup mahal.

Selasa, 09 Maret 2010

Ternak Kambing Perah di Pedesaan

Setelah cukup lama belajar di "sekolah ternak" tiba saatnya mengeksekusi penyaluran hasrat untuk beternak kambing. Seperti disampaikan pada posting sebelumnya bahwa usaha ternak kambing didorong oleh kenyataan bahwa masyarakat di desa saya memerlukan tambahan penghasilan untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Masyarakat petani selalu dihadapkan dengan kondisi yang tidak menguntungkan yaitu naiknya harga pupuk kimia tidak diikuti dengan harga jual produksi pertanian. Potret klasik tersebut sudah menjadi pemandangan umum kehidupan petani di pedesaan sehingga tidak heran jika kehidupan petani di Indonesia khususnya di Pulau Jawa serba pas-pasan.

Usaha peternakan khususnya kambing perah memiliki banyak manfaat bagi masyarakat petani pedesaan, antara lain :
1. Meningkatkan penghasilan masyarakat dari penjualan produk usaha ternak (cempe),
2. Mengurangi biaya produksi pertanian melalui pemanfaatan kotoran ternak sebagai pupuk (selain lebih murah juga ramah lingkungan),
3. Meningkatkan gizi dengan konsumsi susu yang diperoleh dari hewan ternaknya.

Sumber daya alam di pedesaan sangat mendukung budidaya ternak terkait dengan ketersedian hijauan makanan ternak yang hampir tersedia sepanjang tahun. Sumber daya petani melalui bimbingan dan pelatihan secara kontinyu akan mampu menguasai teknik beternak yang baik.

Kelemahan utama yang ada adalah keterbatasan modal sehingga usaha peternakan khususnya kambing perah belum menjadi pilihan. Disamping itu jiwa kewirausahaan belum menjadi budaya masyarakat sehingga inovasi dan kreatifitas tidak berkembang meskipun tingkat pendidikan formal cukup memadai. Masyarakat pedesaan umumnya lebih suka menduplikasi atau meniru usaha yang telah berjalan daripada memulai percobaan usaha sendiri.

Untuk itulah saya melakukan inisiasi peternakan kambing perah di desa tempatku lahir dan dibesarkan. Pengalaman beternak kambing biasa (jawa randu) selama 2 tahun menunjukkan secara bisnis cukup menguntungkan (dari 1 ekor menjadi 4 ekor). Kendala utama yang dihadapi adalah keterbatasan pejantan sehingga perkawinan kambing tidak optimal, sebagai akibatnya calving period terlalu panjang. Disisi lain jika memelihara pejantan tanpa dibarengi jumlah betina yang memadai akan memboroskan biaya. Menurut perhitungan setidaknya 10 ekor betina harus dipelihara jika memelihara 1 ekor pejantan.

Peternakan yang diusahakan adalah ternak kambing perah jenis peranakan etawa. Untuk mencapai hasil optimal maka usaha dimulai dengan memelihara 8 ekor induk betina dan 1 ekor pejantan. Target jumlah tersebut ditargetkan dapat direalisasikan dalam tahun ini. Induk betina yang dibeli dalam kondisi hamil sehingga mempercepat proses produksi, sedangkan pejantan dipersiapkan untuk menjadi pemacek pada siklus perkawinan berikutnya sehingga dibeli masih kondisi cempe (umur 6 bulanan). Pada tahap awal usaha diproyeksikan untuk meningkatkan kuantitas ternak sehingga hasil produksi berupa cempe betina tidak dijual. Hanya cempe jantan yang dijual untuk menutup biaya produksi. Induk betina, cempe betina dari induk betina, dan pejantan yang akan seterusnya dipelihara sebagai bibit peternakan pada siklus produksi tahun berikutnya.

Sementara ini dulu, posting berikutnya akan menjelaskan lebih lanjut. saran dan kritik dari para peternak dan pemerhati untuk memperbaiki usaha ini sangat saya harapkan.

Senin, 08 Maret 2010

Usaha Ternak Kambing


 Kambing PE (cempe calon pejantan)
Secara geografis tidak mungkin lagi untuk memperluas lahan pertanian di Pulau Jawa termasuk wilayah kampung halaman kami di Kebumen. Pola intensifikasi pertanian yang telah diterapkan sejak era Orde Baru belum berhasil mengangkat kesejahteraan petani karena pemanfaatan teknologi yang dilakukan seperti mekanisasi dan penggunaan pupuk kimiawi cenderung mengurangi kebutuhan jumlah pekerja di sektor ini. Hal ini pada akhirnya menyebabkan tingginya tingkat urbanisasi karena semakin berkurangnya lapangan kerja di desa.
Di sisi lain wilayah Kebumen memiliki beberapa potensi yang layak dikembangkan untuk meningkatkan masyarakat yang salah satunya adalah di sektor peternakan. Peternakan yang prospektif dikembangkan adalah ternak hewan ruminansia (sapi, domba, dan kambing) karena ketersedian pakan yang terjamin dikaitkan dengan usaha pertanian yang telah ada karena limbah pertanian merupakan makanan pokok hewan ternak tersebut. Hasil sampingan usaha peternakan berupa kotoran (urine dan feses) melalui teknik pengolahan tertentu merupakan pupuk kandang organik yang selain ramah lingkungan juga akan mengurangi biaya pembelian pupuk pada usaha pertanian. Tingkat ketergantungan usaha peternakan (terutama organik) terhadap produk kimia sangat rendah sehingga tidak mudah dipermainkan oleh industri besar (yang sering tidak berpihak pada petani). Permintaan hewan ternak khususnya kambing juga terus meningkat seiring meningkatnya kesadaran masyarakat dalam menjalankan agama (aqiqah dan qurban).  
Berdasarkan pertimbangan tersebut maka pertanian dan peternakan seharusnya merupakan satu paket usaha masyarakat di wilayah pedesaan. Pola integrasi semacam itu sebenarnya merupakan budaya masyarakat pedesaan sejak dahulu. Namun keterbatasan modal menjadi alasan utama pola integrasi tersebut tidak berkembang dengan baik. Penghasilan petani yang terbatas habis hanya untuk membiayai kehidupan keluarganya tanpa tersisa untuk berinvestasi di sektor usaha lain. Kalaupun beternak hanya “gaduhan” dari para pengusaha dengan sistem bagi hasil dan (lagi-lagi) penghasilan yang diperoleh habis untuk menghidupi keluarga. 
Memperhatikan permasalahan  tersebut penulis mencoba turut serta melakukan usaha peternakan kambing di Mirit - Kebumen. Usaha kambing telah dilakukan sejak 2 tahun terakhir bekerja sama dengan tetangga sekitar melalui sistem gaduhan. Usaha dimulai dengan membelikan seekor kambing indukan jawa randu dan sampai saat ini telah berkembang menjadi 4 ekor.
Seiring dengan waktu dan bertambahnya pengetahuan maka mulai tahun ini dimulai peningkatan usaha melalui pembelian bibit kambing lokal unggul yaitu kambing PE (peranakan etawa). Jenis kambing tersebut dipilih karena selain sebagai penghasil daging juga potensial menghasilkan susu. Direncanakan sebagai tahapan awal usaha akan didatangkan 8 ekor indukan dari Kaligesing-Purworejo. Realisasi sampai saat ini telah dua ekor indukan hamil serta seekor cempe sebagai calon pejantan mulai dipelihara di kandang Kebumen. 
 Pasar Kambing Pendem (Kaligesing-Purworejo)
Proses belajar usaha ternak selalu terus dilakukan yang salah satunya melalui blog ini yang diharapkan dapat digunakan sebagai media sharing dengan masyarakat luas.